JALAN LIKU PERCERAIAN

Perkara satu ini halal dilakukan. Tapi agama menganjurkan pemeluknya menjauhi, bahkan Allah SWT membencinya.

Terik sinar matahari menyengat kulit. Hampir tak ada perubahan dari hari ke hari. Suatu ketika, sabahat Nabi Muhammad saw, Abdullah bin Umar Ibnul Khattab lari bergegas menuju kediaman Rasulullah. Satu perkara besar hendak dipertanyakan Umar kepada Sang Nabi.

Tak panjang cakap, di hadapan Rasulullah, Umar dengan raut muka cemas penuh penasaran, langsung bertanya,”Saya pernah menceraikan isteri dalam keadaan haid, bagaimana Rasul?”

Dengan nada tegas sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah menjawab pertanyaan Umar,”Suruhlah dia (Abdullah bin Umar ) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang istrinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya.”

Pada tempat dan zaman yang berbeda. Awal bulan Maret 2009 lalu, di hadapan kamera, seorang politikus dari partai politik yang sedang berkuasa melontarkan sindiran ketika ditanya soal hubungan koalisi partainya oleh presenter acara talkshow politik sebuah stasiun televisi.

“Bagaimana koalisi partai anda saat ini ketika rekan koalisi anda ternyata mesra dengan partai lain?” Tanya presenter berparas ayu itu sambil tersenyum. Sang politikus mesem seraya menjawab,”Memangnya kita artis, gampang kawin cerai, kita masih baik kok…”

Sindiran itu langsung disambut riuh pemirsa di stasiun TV. Barangkali kalau pemirsa di rumah kebetulan mendengar sindiran itu, bisa dipastikan juga akan melakukan hal yang sama, tertawa.

Jelas, antara kedua peristiwa itu tidak mempunyai nilai kesamaan. Tapi realitas tersebut telah menjadi bagian dari liku sejarah panjang perkara perceraian suami istri. Sejak awal mula Islam turun di Tanah Suci, Makkah hingga hari ini kehadiran kawin cerai tak pernah usai diperbincangkan dan diperdebatkan siapapun.

Peristiwa yang menimpa sahabat Nabi, Abdullah bin Umar Ibu Khattab merupakan ihwal baru bagi masalah perceraian. Kala itu, perceraian bagi kebanyakan umat Islam, menjadi perkara yang sulit dan bahkan jarang sekali dilakukan para sahabat Nabi. Banyak dari para sahabat yang belum mengetahui tentang ‘prosedur’ perceraian yang disahkan agama Islam.

Agama Islam dengan tegas memberikan ujaran bahwa perceraian sudah dibatasi, diperketat untuk dilakukan pemeluknya. Bahkan Nabi Muhammad bersabda bahwa cerai (thalaq) merupakan sesuatu yang halal untuk dilakukan namun Allah swt membencinya. “Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan thalaq,” (Riwayat Abu Daud) dan “Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah thalaq.” (Riwayat Abu Daud).

Perkara halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, thalaq itu suatu keringanan (rukhshah) yang tidak bisa dilakukan dengan sewenang-wenang. Perceraian bukanlah hal yang dianggap bisa wajar untuk dilakukan siapapun. Melainkan yang hendak melakukan perceraian harus mengikuti ketentuan-ketentuan-Nya.

Nabi bersabda,”Suruhlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang istrinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya.” (Riwayat Imam Bukhari). Hadits ini dengan jelas melarang umat Islam menceraikan isteri dalam keadaan haid.

Pada saat suci setelah disetubuhi, seorang isteri haram diceraikan oleh suami. Alasan utama mengharamkan ini yakni ada kemungkinan isteri akan hamil. Keadaan ini barangkali akan merubah pikiran suami menceraikan isterinya.

Agama Islam juga melarang suami untuk mengeluarkan mantan isterinya dari rumah pada waktu iddah (periode tertentu yang wajib dijalani dan ditunggu oleh wanita yang dicerai suaminya atau yang ditinggal mati suaminya dengan berpantang melakukan perkawinan baru).

Untuk kesekian kali, agama memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melakukan ruju’, kembali lagi. Yakni pada saat iddah, suami isteri masih bisa melakukan ruju’, menjadi sepasang suami istri lagi.

Keberadaan istri di rumah pada masa iddah, dimungkinkan akan membantu suami isteri melakukan refleksi menyeluruh terhadap perjalanan kehidupan rumah tangga dengan pikiran yang lebih tenang, tidak emosional dan jernih.

Perihal ini Allah swt bertitah:”Dan takutlah kamu kepada Allah, Tuhanmu. Jangan kamu usir mereka itu dari rumah – rumah mereka dan jangan sampai mereka itu keluar rumah, kecuali apabila mereka berbuat kejahatan yang terang – terangan; dan yang demikian itu adalah batas – batas ketentuan Allah, dan barang siapa melanggar batas- batas ketentuan Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dirinya sendiri; kamu tidak tahu barangkali Allah akan mengadakan hal baru sesudah itu.” (QS at-Thalaq:1)

Allah swt juga amat sangat memberikan peringatan tegas kepada umat Islam untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga. Namun apabila tidak mampu, perceraian harus dilakukan dengan baik. “Tahanlah mereka dengan baik atau cerailah mereka dengan baik pula.” (QS at-Thalaq:2)

Ayat lain,”Maka tahanlah dengan baik atau lepaslah dengan baik pula.” (QS at-Thalaq:2)

Kepada para suami, Allah swt memberikan perintah untuk menghibur isteri yang dicerai. “Untuk perempuan – perempuan yang dicerai harus diberi hiburan (mata) dengan baik, sebagai kewajiban atas orang-orang yang taqwa.” (QS al-Baqarah:244)

Niscaya, perceraian merupakan sesuatu yang amat dibenci Allah swt dan ujaran – ujaran agama Islam memperketat peluang thalaq dan memberikan ruang bagi terjalinnya kembali hubungan suami istri yang bahagia.

Ketatnya syariat (peraturan) tentang thalaq karena didasarkan pada penghormatan terhadap ikatan pernikahan. Bahwa ikatan pernikahan, rumah tangga adalah mulia dan patut untuk dipertahankan.

Dalam Al Qur’an pernikahan dilukiskan sebagai perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidan). Perjanjian yang agung dalam perkawinan (akad nikah) dalam beberapa keterangan dalam al-Qur’an diletakkan setara dengan perjanjian antara Allah swt untuk menyebarkan perintah-perintah (syariat) Allah.

Namun akhir – akhir ini, hampir setiap pagi, siang dan sore berita layar kaca televisi begitu meruyak memberitakan ihwal perceraian, tertama di kalangan artis.

Dengan beragam alasa, thalaq dan khulu’ (isteri menthalaq suami) mudah dijatuhkan dan tak lama kemudian menikah lagi selanjutnya cerai kembali. Seringkali peristiwa perceraian juga diwarnai dengan pertikaian pembagian harta gono- gini dan bahkan perebutan hak asuh anak.

Perihal yang satu ini Rasulullah saw bersabda:

“Saya tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan yang suka kawin cerai.” (Riwayat Thabarani dan Daraquthni). Dan sabdanya pula: “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada laki – laki yang suka kawin cerai dan perempuan – perempuan yang suka kawin cerai.” (Riwayat Thabarani).

Perceraian berarti kegagalan

Menuju perceraian, suami istri ada pada masa perenungan. Ketika itu suami istri seringkali mendapati fakta bahwa mereka tidak cocok dan memutuskan untuk bercerai dengan harapan mengakhiri ketidakcocokan atau ketidaksepahaman itu. Maka bercerailah mereka.

Ditengah perenungan itu banyak yang dilewatkan oleh suami istri yang tengah dalam masa refleksi itu. Yakni berfikir soal kecocokan dan masa – masa indah penuh harmonis. Pasangan suami istri yang dalam masa transisi menuju perceraian, biasanya hanya melihat fakta saat itu dimana mereka berada dalam masa penuh ketegangan, penuh emosi, penuh ketersinggungan, penuh amarah dan kemudian membuat kesimpulan yang gegabah. Yakni ketidakcocokan dan untuk menyelesaikan ketidakcocokan atau ketidakharmonisan itu adalah perceraian. Pertanyaannya apakah benar ketidakharmonisan itu bisa selesai dengan perceraian?

Sekilas akan terasa benar. Karena memang ketika cerai (thalaq) sudah jatuh, maka pasangan suami istri itu bukan lagi pasangan yang memiliki ikatan. Artinya sudah tidak memiliki lagi apa yang disebut hak, kewajiban dan tanggung jawab. Sang suami tidak lagi memiliki hal, kewajiban dan tanggung jawab kepada istri demikian juga istri. Pasangan itu kemudian tidak bisa lagi saling mengintervensi, berada dalam kebebasannya masing – masing. Cocok atau tidak cocok bukan persoalan lagi.

Tetapi kebenaran itu berada dalam arti ‘keterputusan ikatan suami istri’ bukan dalam arti kebenaran mengakhiri ketidakcocokan hubungan suami istri.

Kalau dalam konteks kedua berarti yang terjadi dalam kegagalan dalam menyelesaikan ketidakcocokan atau ketidakharmonisan hubungan suami istri karena malah diselesaikan dengan pemutusan hubungan.

Dengan demikian yang terjadi adalah kegagalan. Yang patut direnungkan yaitu pada masa keretakan rumah tangga, pasangan suami istri kerap mengambil kesimpulan dengan menggunakan perspektif sendiri, melakukan ketertutupan pikiran (close mind) terhadap pandangan orang lain. Bukan malah sebaliknya, membuka lebar komunikasi dengan pasangan.

Amat disayangkan apabila perceraian dimaknai sebagai pemberi solusi permusuhan dan ketidakcocokan suami istri. Karena perceraian sesungguhnya bukti kegagalan penyelesaian dan ketidakmampuan mendinamisasi problematika rumah tangga. Wallahu a’lam.

sumber : Anggun Majalah Pengantin Muslim Edisi 04 / II / April 2009

~ by glesyer on July 19, 2010.

One Response to “JALAN LIKU PERCERAIAN”

  1. Islam mengajarkan keseimbangan diantaranya;

    Orang yang beriman untuk orang yang beriman
    Orang yang kafir untuk orang yang kafir
    Orang yang musyrik untuk orang yang musyrik

    Insya Allah jauh dari perceraian

Leave a reply to Makanan Organik Cancel reply